KAJIAN MATA
PENCAHARIAN ALTERNATIF (MPA)
BERBASIS KELAPA DI KABUPATEN NIAS SELATAN
ABSTRACT
Coral reef
and aquatic organisms in it ecosystem is important resource for coastal
communities. At present, the coral reef has been over exploited, and
degradation up to 41.7%. The degradation is supposed related to poverty of
local communities. Therefore, it is very important to study the alternative
livelohood which consider the ecological and economical aspects. Based on the
study at south Nias District in six villages, Nata decoco and Virgin Coconut Oil
(VCO) are suitable as alternative livelihood because R/C ratio is 2.32 and 1.40
respectively.
----------------
Key word : Coral reef, alternative livelihood, nata
decoco, VCO, South Nias.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten
Nias Selatan memiliki luas wilayah 1.825,2 km2, terdiri atas :
Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Lolomatua, Kecamatan Gomo, Kecamatan Lahusa,
Kecamatan Hibala, Kecamatan Pulau–pulau Batu, Kecamatan Amandraya dan Kecamatan
Lolowa’u. Topografi wilayah ini terdiri dari perbukitan hingga pegunungan,
pesisir pantai dan kepulauan. Jumlah
pulau yang terdapat di kabupaten ini yaitu 104 pulau dimana 101 pulau terdapat
di gugusan Pulau – pulau Batu, Tanah Masa dan Hibala.
Berdasarkan data tahun 2005,
Kabupaten Nias Selatan memiliki jumlah penduduk sebanyak 275.422 jiwa yang
tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan. Mata pencaharian penduduk di
wilayah ini umumnya masih mengandalkan sumber daya alam yang ada dengan pengelolaan
eksploitatif.
Terumbu karang dan kehidupan biota
yang berasosiasi didalamnya merupakan sumber daya pesisir yang mempunyai fungsi
ekologi bagi ekosistem pesisir dan laut dan fungsi ekonomi bagi masyarakat
pesisir. Terumbu karang yang ada di Indonesia dengan luas sekitar
60.000 km2 merupakan tempat bagi 1/8 dari terumbu karang dunia (Carter,
1996) dan sangat kaya akan keanekaragaman biota yang bernilai ekonomis penting.
Menurut kajian Mann (2000), perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang
yang sehat pada kedalaman kurang dari 30 meter, memiliki kandungan ikan
sebanyak 15 ton/km2.
Dewasa ini, eksploitasi terumbu
karang secara tidak bijaksana telah menyebabkan kerusakan pada tingkat yang
mengkhawatirkan. Terumbu karang yang rusak di Indonesia telah mencapai 41.78 %
sedangkan kondisi baik hanya sebesar 23.72 % dan sangat baik tinggal 6.20 %
(Bengen, 2002). Dari kondisi tersebut, terumbu karang di kawasan perairan Indonesia barat memiliki kondisi yang lebih
buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan timur Indonesia. Kondisi terumbu karang
di perairan pesisir Kabupaten Nias Selatan telah mengalami kerusakan yang
dominan disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti penggunaan alat tangkap ikan
yang membahayakan kehidupan karang, bahan peledak, racun dan penambangan
karang. Cara–cara yang tidak bijaksana ini ditempuh karena tekanan
ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat yang banyak berada dalam garis kemiskinan. Dengan perkataan lain,
kerusakan ini terjadi karena tingginya ketergantungan masyarakat pesisir
terhadap sumber daya terumbu karang akibat minimnya mata pencaharian
alternatif.
Untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya terumbu
karang dan biota yang berasosiasi di dalamnya, perlu dilakukan pengkajian Mata Pencaharian
Alternatif (MPA) sehingga sumber daya terumbu karang dapat terjaga
kelestariannya dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Karena potensi dan karakteristik
desa berbeda–beda, maka mata pencaharian penduduk yang berpotensi dikembangkan
juga berbeda–beda. Oleh sebab itu pengembangan MPA harus diidentifikasi, dikaji
dari aspek teoritis, ekonomi, kelestarian lingkungan (ekologis) dan sosial
budaya masyarakat sehingga layak dikembangkan di lokasi/desa setempat.
1.2. Tujuan
Studi pengembangan MPA ini bertujuan mengkaji dan mendesain Mata
Pencaharian Alternatif (MPA) bidang pertanian yang layak dikembangkan
berdasarkan potensi sumber daya alam lokal di 6 (enam) desa Kabupaten Nias
Selatan.
1.3. Manfaat
Hasil studi kelayakan MPA ini akan
bermanfaat sebagai berikut :
a.
Sebagai bahan
bagi pemerintah daerah dalam penyusunan program pembangunan ekonomi wilayah
pesisir khususnya dalam pengentasan kemiskinan.
b.
Membantu
masyarakat setempat dalam pengembangan mata pencaharian alternatif berbasis
sumber daya lokal sehingga aktivitas masyarakat yang menyebabkan kerusakan
terumbu karang dapat dialihkan untuk memaksimalkan upaya pelestarian terumbu
karang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
2. METODE PENGKAJIAN MPA
2.1. Pendekatan Studi
Dalam
studi kelayakan dan desain mata pencaharian alternatif di enam lokasi Kabupaten
Nias Setalan, pendekatan studi yang dilakukan adalah pendekatan partisipatif (participatory
approach), dimana aspirasi masyarakat menjadi unsur penting dalam penetapan
jenis mata pencaharian yang layak dikembangkan dan dipadukan dengan potensi
biofisik wilayah, kondisi ekologis, kondisi ekonomi dan sosial budaya
masyarakat lokal.
Pendekatan
studi ini selaras dengan salah satu bidang kegiatan COREMAP yakni Pengelolaan
Berbasis Masyarakat (community based management). Dalam pengelolaan
berbasis masyarakat ini, semua proses pengelolaan terumbu karang akan
dilaksanakan oleh masyarakat melalui kegiatan kelompok dan Lembaga Pengelola
Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan didukung oleh motivator desa serta
dibantu oleh fasilitator lapangan dan pihak terkait. Pengelolaan terumbu karang
berbasis masyarakat ini akan tidak efektif dan berhasil guna jika masyarakat
yang berada di kawasan terumbu karang tidak memiliki mata pencaharian selain
usaha–usaha eksploitasi sumber daya di kawasan terumbu karang. Dengan demikian
dibutuhkan kajian mata pencaharian alternatif berbasis sumber daya alam lokal
yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
2.2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data
dalam Studi Kelayakan dan Desain Mata Pencaharian Alternatif (MPA) di enam
lokasi COREMAP II Kabupaten Nias Selatan ini melalui pengumpulan data sekunder
dan primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survey, yang
mencakup wawancara dengan masyarakat lokal, pengisian kuesioner, observasi
lapangan, diskusi kelompok terfokus dan konsultasi publik tingkat kecamatan.
Pengisian
kuesioner secara terbuka digunakan untuk memperoleh informasi tentang :
a.
Potensi pertanian terutama potensi tanaman kelapa.
b.
Pemanfaatan sumber daya terumbu karang
c.
Aspek sosial (kependudukan dan pendidikan)
d.
Aspek ekonomi (mata pencaharian dan tingkat pendapatan
masyarakat)
e.
Aspek budaya (adat istiadat dan kearifan lokal)
Sedangkan observasi lapangan
dilakukan untuk mengetahui kondisi ekologis terumbu karang, kondisi alam desa,
pengelolaan mata pencaharian utama dan sampingan. Data sekunder tentang kondisi
geografis, topografis dan iklim diperoleh dari instansi terkait dan diperkaya
dengan berbagai literatur.
Diskusi kelompok terfokus yang
melibatkan unsur pemerintah desa, tokoh masyarakat, kelompok produksi, kelompok
pengawas, kelompok wanita dan unsur LPSTK dimaksudkan untuk memperoleh data dan
informasi tentang masalah– masalah yang dihadapi dalam upaya pelestarian terumbu
karang. Sedangkan konsultasi publik tingkat kecamatan yang dihadiri unsur
Muspika, aparat desa, Pokmas, LPSTK, masyarakat desa dan pemangku kepentingan
lainnya ditujukan untuk memperoleh masukan dalam penyusunan MPA, sehingga layak
dikembangkan di daerah tersebut.
2.3. Analisa Data
Data
yang diperoleh dianalisis berdasarkan kriteria kelayakan teknis dan ekonomis
yang telah ditentukan. Data potensi biofisik desa, kondisi ekologis, sosial
ekonomi dan budaya masyarakat dijabarkan, kemudian dihubungkan dengan mata
pencaharian yang layak dikembangkan berdasarkan potensi ketersediaan bahan baku
dan pemasaran.
Analisa
usaha dibuat berdasarkan kebutuhan dalam pengelolaan suatu usaha. Analisa
mencakup investasi bahan dan peralatan, benih atau bibit, tenaga kerja dan
harga pemasaran. Dari nilai investasi dihitung keuntungan dan analisa benefit
usaha dan imbangan penerimaan biaya atau rasio hasil penjualan dan total biaya
operasional (R/C Ratio).
3. PROFIL DESA DAN PENGEMBANGAN MPA
3.1. Kondisi Umum Kabupaten Nias Selatan
Jumlah
penduduk Kabupaten Nias Selatan pada Januari 2005 yaitu 275.422 jiwa tersebar
di 212 desa. Bahasa sehari – hari yang digunakan adalah bahasa Nias dengan
dialek Nias Selatan, yang berbeda dengan dialek masyarakat di Kabupaten Nias induk.
Sekitar 65 % angkatan kerja di wilayah ini berpendidikan sekolah dasar yang
mayoritas menggeluti pertanian.
Komoditas
unggulan sektor pertanian terutama dari perkebunan yakni kelapa, karet dan
nilam. Seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sentra perkebunan kelapa di
Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa dan Amandraya serta tanaman karet dan nilam di
Kecamatan Lahusa, Lolomatua dan Lolowa’u. Hasil pertanian lain yang menjadi
unggulan adalah padi yang berpusat di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa dan
Amandraya. Komoditas unggulan daerah ini umumnya dijual dalam bentuk segar,
belum melalui proses pengolahan. Komoditas pertanian masih dikelola secara
tradisional. Pada saat panen, hasil perkebunan dan perkebunan umumnya dikirim
melalui kapal ke Sibolga atau Padang di propinsi Sumatera Barat.
Studi
pengembangan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) di Kabupaten Nias yang meliputi 6
(enam) desa yaitu : Desa Tuwaso dan Desa Duru di Kecamatan Hibala, Desa Sifutu
Ewali, Desa Luaha Idanopono, Desa Hayo di Kecamatan Pulau–pulau Batu dan Desa
Botohilitano di Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias. Karena setiap desa
mempunyai karakteristik dan potensi biofisik yang berbeda, maka perlu diberikan
gambaran umum deskripsi dan profil desa, yang dijadikan sebagai landasan dalam
kajian pengembangan MPA. Pengembangan MPA di desa–desa ini diharapkan menjadi
contoh dan faktor pendorong berkembangnya mata pencaharian alternatif di desa–desa
lainnya di Kabupaten Nias Selatan dalam upaya mencapai tujuan pelestarian
terumbu karang.
3.2. Desa Duru
Desa
Duru dengan luas 3,18 km2 ini terdiri dari 2 dusun yakni Duru I dan
Duru II yang dipisahkan oleh perairan teluk dengan kondisi terumbu karang yang
sedang mengalami pemulihan. Lokasi pemukiman di desa ini hanya berjarak 10– 25
m dari garis pantai dengan ketinggian 1–5 m di atas permukaan laut dan berjarak
3 km dari ibukota kecamatan, dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak
504 jiwa (101 KK) yang terdiri dari laki–laki 223 orang dan perempuan 281
orang.
Mata
pencaharian utama penduduk Desa Duru adalah petani. Mayoritas masyarakat di
daerah ini mengusahakan kebun kelapa. Luas kebun kelapa mencapai 24 hektar dan
dapat menghasilkan 30 ton kopra per 3 bulan. Dengan potensi kelapa yang cukup
besar, di desa ini layak dikembangkan produk minya perawan (Virgin Coconut
Oil–VCO), produk minuman Nata de Coco dan sabut kelapa yang dapat
dipasarkan untuk kebutuhan lokal, ke Tello, Teluk Dalam, Sibolga dan bahkan ke
Medan. Sekarang ini produk VCO sangat diperlukan oleh industri farmasi dan
kosmetika, sehingga harga VCO ini cukup tinggi di pasaran yakni Rp. 40.000 per
kg. Untuk mempertahankan produksi kelapa tersebut, pohon kelapa yang sudah tua
atau kurang produktif perlu dilakukan peremajaan dengan menanam kelapa hibrida.
Dilihat dari keragaman vegetasi, lahan di desa ini termasuk lahan yang subur.
Oleh sebab itu, lahan kebun kelapa tersebut pada dasarnya dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan budidaya rumput unggul sebagai sumber hijauan pakan ternak
kambing. Sebagian besar masyarakat nelayan (77,23 %) mempunyai pendapatan
berkisar antara Rp. 300.000–Rp. 500.000 per bulan, yang masih jauh berada di
bawah UMR Propinsi Sumatera Utara.
Dari
aspek kualitas sumber daya manusia (SDM), masyarakat di desa ini masih
tergolong rendah. Dari survey lapangan (Agustus, 2006), tingkat pendidikan
masyarakat sangat rendah, karena 62 % hanya tamatan SD dan bahkan masih
terdapat penduduk yang tidak tamat SD serta tidak sekolah pada usia 7–12 tahun.
Rendahnya kualitas SDM ini termasuk
faktor penghambat dalam pengembangan teknologi pengolahan hasil pertanian
sehingga sangat diperlukan upaya peningkatan kualitas SDM ini melalui
pelatihan–pelatihan teknis yang bersifat praktis, adaptif dan berdaya guna.
3.3. Desa Tuwoso
Berdasarkan survey bulan
Agustus 2006, penduduk desa ini berjumlah 623 jiwa (131 KK) yang terdiri dari laki–laki
306 orang dan perempuan 317 orang. Berdasarkan distribusi agama yang dianut 98
% penduduk desa ini menganut agama Kristen Protestan dan 2 % Katolik. Sebagian
besar (80,15 %) penduduk desa bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan
sampingan adalah berkebun kelapa, beternak ayam dan babi.
Berkebun
kelapa telah lama digeluti oleh penduduk setempat, tetapi hanya pekerjaan
sampingan. Kegiatan ini terutama dilakukan ketika nelayan tidak melaut
akibat musim badai. Di desa ini terdapat
kebun kelapa seluas 20 hektar dan mampu menghasilkan kopra sekitar 2,5 ton per
3 bulan. Pohon kelapa ini sebagian besar sudah berumur tua dan pada dasarnya
sudah kurang produktif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan peremajaan dengan
menaman jenis kelapa hibrida yang lebih produktif. Potensi kelapa yang cukup
besar ini dapat mendukung usaha produksi minyak kelapa murni (Virgin Coconut
Oil), produk minuman Nata de Coco dan pembuatan sabut kelapa.
Akibatnya
terbatasnya mata pencaharian alternatif, sebagian besar (80 %) masyarakat
nelayan di desa ini mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.000 –Rp.
500.000/bulan. Pendapatan ini jelas tidak mencukupi untuk memenuhi berbagai
kebutuhan keluarga sehari–hari, biaya pendidikan, kesehatan dan kegiatan sosial
lainnya. Oleh sebab itu, masyarakat nelayan di daerah ini kesulitan modal untuk
pengembangan usaha dan bahkan sering terlilit hutang untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
3.4. Desa Sifitu Ewali
Jumlah penduduk menurut
BPS Kabupaten Nias (2004) sebanyak 801 jiwa (152 KK) yang terdiri dari laki–laki
410 orang dan perempuan 391 orang. Sebagian besar penduduk desa ini 90,76 %
menganut agama Kristen Protestan dan 9,24 % Katolik. Mata pencaharian utama
penduduk desa ini adalah sebagai nelayan (80,15 %), sedangkan pekerjaan
sampingan adalah berkebun kelapa, beternak ayam dan babi.
Di
samping bekerja sebagai nelayan, masyarakat di daerah ini juga mengusahakan
kebun kelapa. Usaha sampingan dilakukan terutama jika mereka tidak melaut, atau
setelah mereka kembali dari kegiatan menangkap ikan. Luas kebun kelapa di desa
ini mencapai 12 hektar dan dapat menghasilkan 20 ton kopra per 3 bulan. Kondisi
kelapa didaerah ini sebagian besar sudah berumur tua sehingga kurang produktif.
Oleh sebab itu, pohon kelapa ini perlu diremajakan sehingga produksi kelapa
bisa lebih tinggi. Potensi kelapa yang cukup besar di desa ini memberikan
peluang pengembangan usaha produksi sabut kelapa, minyak perawan (Virgin
Coconut Oil) dan produk minuman Nata de Coco.
3.5. Desa Hayo
Jumlah
penduduk Desa Hayo menurut BPS Kabupaten Nias (2004) sebanyak 284 jiwa (56 KK)
yang terdiri dari laki–laki 145 orang dan perempuan 139 orang. Mata pencaharian
utama penduduk desa ini adalah sebagai nelayan (91,07 %), sedangkan pekerjaan sampingan
adalah berkebun kelapa, beternak ayam dan babi. Pekerjaan sampingan beternak
ayam dan babi umumnya dilakukan kaum ibu dan sudah berlangsung cukup lama di
daerah ini. Hal ini didukung oleh ketersediaan sumber pakan alami, faktor
sosial budaya (adat istiadat) dan religi (agama) dimana penduduk desa ini 100 %
Kristen. Karena kegiatan beternak ini masih berupa usaha sambilan, populasi
ternak babi dan ayam masih relatif kecil dimana ternak babi hanya mencapai 68
ekor dan ternak ayam 105 ekor.
Pekerjaan
sampingan berkebun kelapa umumnya dilakukan nelayan ketika tidak melaut.
Kesempatan itu dimanfaatkan nelayan membersihkan kebun, memanen kelapa dan
membuat kopra. Luas kebun kelapa mencapai 11 hektar dan dapat menghasilkan 20
ton kopra per 3 bulan. Pohon kelapa di desa ini sebagian besar sudah berumur
tua, sehingga kurang produktif. Oleh sebab itu perlu dilakukan peremajaan
kelapa dengan jenis kelapa hibrida yang mempunyai produksi tinggi. Potensi
kelapa yang cukup besar di desa ini membuka peluang pengembangan mata
pencaharian alternatif yaitu usaha produksi minyak perawan (Virgin Coconut
Oil), produk minuman Nata de Coco dan sabut kelapa. Disamping itu,
kebun kelapa yang luas di desa ini pada dasarnya mempunyai potensi untuk
pengembangan budidaya rumput unggul sebagai sumber pakan ternak. Penanaman
rumput unggul yang tahan naungan dapat dilakukan di bawah pohon kelapa sehingga
memberikan peluang pengembangan usaha ternak ruminansia kecil.
3.6. Desa Luaha Idano Pono
Jumlah penduduk pada
tahun 2006 sebanyak 253 jiwa (48 KK)
yang terdiri dari laki – laki 132 orang dan perempuan 111 orang. Sebagian besar
penduduknya bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan sampingan adalah
berkebun kelapa, beternak ayam dan babi serta budidaya teripang. Pekerjaan sampingan
beternak babi sudah berlangsung cukup lama, hal ini didukung oleh faktor
ketersediaan sumber pakan alami seperti ubi, ampas kelapa dan sagu, faktor
sosial budaya (adat istiadat) dan religi (agama) dimana penduduk desa ini 100 %
Kristen.
Selain sebagai nelayan, masyarakat di daerah ini
juga mengusahakan kebun kelapa. Kegiatan berkebun umumnya dilakukan ketika
nelayan tidak melaut atau setelah pulang dari melaut. Luas kebun kelapa
mencapai 12 hektar dan dapat menghasilkan kopra rata – rata 7 ton per bulan
atau sekitar 20 ton kopra per 3 bulan. Pohon kelapa di desa ini sudah banyak
yang tua dan tidak produktif lagi. Diperlukan usaha peremajaan untuk
meningkatkan hasil produksi kelapa, seperti penanaman kelapa hibrida. Potensi
kelapa yang cukup besar di desa ini, membuka peluang pengembangan mata
pencaharian alternatif selain produksi kopra dan minyak kelapa, antara lain
produksi sabut kelapa, minyak perawan (Virgin Coconut Oil), produk
minuman Nata de Coco. Disamping itu, lahan kebun kelapa yang cukup luas
tersebut mempunyai potensi untuk produksi hijauan pakan ternak. Artinya desa
ini juga berpotensi untuk pengembangan usaha ternak kambing.
Mata
pencaharian yang dikelola secara tradisional menyebabkan tingkat pendapatan
masyarakat desa ini relatif rendah. Sebagian besar (72,92 %) masyarakat nelayan
di desa ini mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.000 –Rp. 500.000 per
bulan. Dengan tingkat pendapatan yang rendah, masyarakat nelayan di daerah ini
relatif kurang menyediakan biaya pendidikan dan biaya hidup lainnya.
3.7. Desa Botohilitano
Berdasarkan
survey bulan Agustus (2006), penduduk desa ini mencapai 3.226 jiwa terdiri dari
672 KK yang sebagian besar bermukin di Desa Botohilitano. Penduduk desa ini
sebagian besar bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan sampingan adalah
berkebun kelapa, usaha tani palawija, beternak ayam dan babi. Sedangkan di
Sorake, mata pencaharian penduduk dominan bergerak di sektor pariwisata,
sedangkan mata pencaharian sampingan adalah berkebun kelapa dan beternak ayam.
Pada
musim badai, nelayan tidak melaut dan waktu tersebut dimanfaatkan untuk
membersihkan kebun kelapa, memanen dan membuat kopra. Pohon kelapa di desa ini
sudah banyak yang tua, sehingga kurang produktif. Dalam kondisi demikian,
dengan luas kebun kelapa sekitar 9 hektar masih dapat menghasilkan kopra
sekitar 5 ton per bulan atau sekitar 15 ton kopra per 3 bulan. Potensi kelapa
yang cukup besar di desa ini membuka peluang pengembangan mata pencaharian
alternatif yaitu usaha, minuman Nata de Coco dan produksi minyak dara (VOC).
Disisi lain lain, lahan kebun kelapa yang relatif luas pada dasarnya dapat
dimanfaatkan untuk budidaya rumput unggul. Dengan perkataan lain, desa ini
mempunyai potensi untuk pengembangan ternak ruminansia kecil seperti kambing
dan domba.
4. ANALISA KELAYAKAN MPA
4.1.
Produksi
(VCO)
4.1.1.
Prospek Pemasaran
Dewasa ini permintaan bahan baku minyak perawan (VCO) untuk kebutuhan
industri farmasi dan kosmetik semakin meningkat, baik untuk kebutuhan industri
dalam negeri maupun luar negeri. Negara–negara Eropa banyak mengimport VCO dari
Indonesia
dengan volume yang semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh sebab itu, produksi
VCO di berbagai daerah di tanah air termasuk di wilayah COREMAP II Kabupaten
Nias Selatan mempunyai prospek pemasaran yang cerah. Meningkatnya permintaan
bahan baku VCO
ini menyebabkan harganya cukup tinggi di pasaran. Minyak perawan dalam bentuk
curah mempunyai harga Rp. 40.000 per kg
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak kelapa yang harganya hanya
mencapai Rp. 6.000 per kg.
4.1.2.
Analisa Kelayakan Teknis
Sebagaimana telah diuraikan dalam deskripsi dan profil desa lokasi
COREMAP II, Kabupaten Nias Selatan, bahwa seluruh desa tersebut mempunyai
tanaman kelapa yang luas dengan produksi kopra yang cukup tinggi. Usaha
produksi kopra inilah satu–satunya hasil pertanian yang dapat menambah hasil
pendapatan keluarga (pendapatan utama berasal dari pekerjaan sebagai nelayan).
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa dan posisi tawar
masyarakat terhadap hasil olahan kelapa tersebut, maka salah satu alternatif
usaha pengolahan kelapa yang layak dikembangkan adalah usaha produksi minyak
perawan (VCO) yang sekarang ini sangat dibutuhkan berbagai jenis industri.
Minyak perawan banyak dibutuhkan
industri farmasi dan kosmetika, sehingga usaha ini sangat cerah di masa
mendatang. Berdasarkan hasil analisis laboratorium sampel VCO yang bersumber
dari kelapa yang ada di Kecamatan Pulau – pulau Batu, Hibala dan Teluk Dalam
mempunyai kandungan asam laurat yang tinggi
(48,47 %) dan kadar air hanya 0,034 % sehingga dari segi kualitas
kelapa layak digunakan sebagai bahan baku
produksi VCO.
Dari segi teknis produksi, peralatan
yang digunakan untuk memproduksi VCO dari bahan dasar santan kelapa menggunakan
teknologi yang sederhana, yaitu seperangkat peralatan centrifuge yang
digerakkan motor listrik dengan kecepatan anguler 2500 rpm berkekuatan 1800
watt. Peralatan
ini dapat dibuat masyarakat lokal, atau didatangkan dari produsen yang
berlokasi di Medan. Untuk pembuatan dan pengoperasian alat ini memerlukan
pelatihan teknis.
4.1.3. Analisa Kelayakan Ekonomis
A. Faktor Produksi
Dalam proses produksi
VCO, faktor–faktor produksi yang digunakan adalah:
a.
Bangunan tempat
usaha
b. Mesin parutan
c.
Mesin press
d. Santan kelapa
e.
Mesin vacuum
f.
Mesin centrifuge
g.
Mesin penyaring
h. Mesin genset berkapasitas 1800 watt
i.
Wadah penampung
minyak (gerigen)
j.
Tenaga kerja
Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan ekonomis usaha
produksi VCO adalah :
a.
Produksi VCO sekitar 10 % dari jumlah kelapa yang diparut
(20.000 butir per bulan)
b.
Harga VCO lokal Rp. 25.000,- per liter
c. Produksi VCO untuk masa 2 tahun
B. Rencana Anggaran Biaya (RAB)
1. Biaya Tetap
(Investasi)
a. Mesin parutan 1 unit Rp. 5.500.000,-
b. Mesin press 1 unit Rp. 18.500.000,-
c. Mesin vacuum panjang
1 unit Rp. 15.500.000,-
d. Mesin centrifuge 1 unit Rp. 9.500.000,-
e. Mesin penyaring 1 unit Rp. 15.500.000,-
f. Jerigen 15 buah @ Rp. 30.000,- Rp. 450.000,-
g. Sewa tempat usaha (3 tahun) Rp. 6.000.000,-
Jumlah
Biaya Tetap Rp. 70.950.000,-
2. Biaya
Variabel (Input Produksi)
a. Kelapa 200
butir/jam x 4 jam/hari x 25 hari x
Rp.
300/butir Rp. 6.000.000,-
b. Transport
pengangkutan buah kelapa Rp. 1.000.000,-
c. Bahan bakar : 5 mesin
x 1,3 liter/jam x 5 jam/hari x 25
hari x Rp. 6.000/liter bensin Rp. 4.875.000,-
d. Perawatan mesin : 5
mesin x Rp. 200.000/bulan Rp. 1.000.000,-
e. Jerigen 30 buah
(kapasitas 30 liter) @ Rp. 50.000,- Rp. 1.500.000,-
f. Upah tenaga kerja 5
orang @ Rp. 700.000/bulan Rp. 3.500.000,-
g. Penyusutan peralatan/bulan
(masa 2 tahun) Rp. 2.956.000,-
Jumlah Biaya
Produksi Rp. 20.831.250,-
C. Analisa Hasil Usaha
1. Penerimaan (Revenue)
a.
Produksi VCO : 10 % x 20.000 butir/bulan = 2.000 liter
b.
Penjualan minyak perawan (VCO) : 2.000 liter x
Rp.
25.000/liter Rp. 50.000.000,-
2. Keuntungan (Profit)
Laba :
Rp. 50.000.000–Rp. 20.831.250 Rp. 29.168.750,-
3. Ratio Finansial
B/C Ratio
: Rp. 29.168.750/Rp. 20.831.250 =
1,40. Berarti usaha produksi VCO layak dikembangkan.
4.1.4. Analisa Kelayakan Sosial
Pengembangkan
usaha produksi minyak perawan (VCO) di desa–desa lokasi COREMAP II, Kecamatan
Hibala, Pulau–pulau Batu dan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan tidak
bertentangan dengan norma agama dan adat istiadat masyarakat. Justru
pengembangan usaha ini akan membuka wawasan masyarakat tentang perkembangan
teknologi dalam meningkatkan nilai tambah
sumber daya alam lokal. Disamping itu, kegiatan mata pencaharian
alternatif ini akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat desa sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
4.2.
Produksi Minuman Nata de Coco
4.2.1.
Prospek Pemasaran
Minuman Nata de Coco
yang dibuat dari air kelapa melalui proses fermentasi sangat digemari
masyarakat sebagai minuman segar dan sumber serat alamiah. Produk minuman ini
dijual dalam berbagai bentuk kemasan sehingga harganya dapat dijangkau seluruh
lapisan masyarakat. Bahkan sekarnag ini minuman Nata de Coco telah
memasuki daerah pedesaan sehingga masyarakat luas sudah mengenalnya.
Demikian halnya di wilayah COREMAP
II Kabupaten Nias Selatan, produk minuman ini sudah banyak dijual di Tello dan
Teluk Dalam. Berdasarkan fakta ini, produk Nata de Coco mempunyai
potensi pasar lokal dan regional sehingga mudah dipasarkan. Hal yang perlu
diperhatikan adalah kualitas produk dengan harga yang bersaing terhadap produk
yang berasal dari luar daerah.
4.2.2.
Analisa Kelayakan Teknis
Sebagaimana telah dijelaskan dalam deskripsi dan profil desa lokasi
COREMAP II, Kabupaten Nias Selatan bahwa keenam desa tersebut merupakan daerah
penghasil kelapa dan kopra. Berarti setiap kelapa yang digunakan untuk
memproduksi kopra akan menghasilkan air kelapa, yang selama ini belum
dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Dengan potensi air kelapa yang
banyak, membuka peluang besar untuk pemanfaatannya menjadi produk minuman Nata
de Coco.
Dewasa ini produk Nata de Coco telah
diproduksi dari berbagai daerah, dalam kemasan yang beraneka ragam dan disukai
banyak orang sebagai salah satu sumber serat. Oleh sebab itu produk minuman ini
bukan lagi hal yang baru sehingga teknis pembuatannya sudah banyak diketahui
masyarakat.
Pada dasarnya pembuatan produk Nata
de Coco adalah melalui sistem fermentasi dengan menggunakan stater mikroba Acetobacter
sp, yang dapat diperoleh dari berbagai perusahaan dan laboratorium
mikrobiologi di perguruan tinggi dan lembaga riset. Selain itu, metoda
pembuatannya relatif mudah dan menggunakan teknologi sederhana, sehingga
melalui pelatihan teknis masyarakat desa dapat melakukannya.
4.2.3. Analisa Kelayakan Ekonomis
A. Faktor Produksi
Faktor
produksi yang digunakan dalam pembuatan produk Nata de Coco adalah :
a. Air kelapa
b. Gula pasir
c. Asam asetat 2 % dan ZA 3 %
d. Bakteri Acetobacter sp
e.
Perlengkapan produksi (nampan, dandang, kompor, ember,
jerigen, timbangan, boto staterm saringan halus, gelas ukur, pisau pemotong dan
talenan)
f. Bangunan tempat usaha
g. Tenaga kerja
Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis
kelayakan ekonomis produksi Nata de Coco adalah :
a.
Air kelapa
diperoleh tanpa membeli (free cost)
b.
Harga jual produk Rp. 2.500 per bungkus (250 ml)
c.
Umur ekonomis peralatan 1 tahun (12 bulan)
B. Rencana Anggaran Biaya (RAB)
1. Biaya Tetap
a. Sewa tempat usaha 1
tahun Rp. 6.000.000,-
b. Nampan plastik 1.200
buah @ Rp. 5.000,- Rp. 6.000.000,-
c. Dandang 3 buah @ Rp. 170.000,- Rp. 510.000,-
d. Kompor masak 1 buah Rp. 400.000,-
e. Ember pencuci 5 buah @ Rp. 50.000,- Rp. 250.000,-
f. Jerigen 10 buah @ Rp. 30.000,- Rp. 300.000,-
g. Pisau pemotong 5 buah @ Rp. 10.000,- Rp. 50.000,-
h. Timbangan 1 buah Rp. 100.000,-
i. Botol untuk stater 50 buah @ Rp. 600,- Rp. 30.000,-
j. Saringan halus 2 buah @ Rp. 20.000,- Rp. 40.000,-
k. Gelas ukur 1 buah Rp. 10.000,-
l. Talenan 5 buah @ Rp.
5.000,- Rp. 25.000,-
Jumlah Biaya Tetap (Investasi) Rp. 13.715.000,-
2. Biaya Variabel (Input Produksi)
a. Penyusutan peralatan
per bulan
(Rp. 13.715.000/12 bln) Rp. 1.142.900,-
b. Minyak tanah 20 liter
x 25 hari x Rp. 2.300/liter Rp. 12.075.000,-
c. Gula pasir 142 kg x
Rp. 5.000/kg Rp. 710.000,-
d. Asam cuka 3 % x 600
liter x Rp. 10.000/liter Rp. 180.000,-
e. Plastik 0.5 kg x Rp.
30.000 x 25 hari Rp. 375.000,-
f. Tali/karet gelang Rp. 20.000,-
g. Kertas koran bekas Rp. 10.000,-
h. ZA 3/100 x 600 liter
x Rp. 1.250/liter x 25 hari Rp. 562.500,-
i. Tenaga kerja 4 orang
x Rp. 30.000,- x 25 hari Rp. 3.000.000,-
Jumlah Biaya Produksi Rp. 18.075.400,-
C. Analisa Hasil Usaha
1. Penerimaan (Revenue)
a. Penjualan produk 2.000
bungkus/hari (250 gr) @ Rp. 1.200 Rp. 2.400.000,-
b. Penjualan untuk 1
bulan (25 hari operasi) Rp. 60.000.000,-
2. Keuntungan (Profit)
Laba : Rp. 60.000.000–Rp. 18.075.400 Rp. 41.924.600,-
3. Ratio Finansial
B/C Ratio : Rp.
41.924.600/Rp. 18.075.400 = 2,32. Berarti usaha produksi Nata de Coco sangat
layak untuk dikembangkan.
4.2.4. Analisa
Kelayakan Sosial
Karena produk minuman Nata
de Coco berasal dari air kelapa, maka pengembangan usaha ini jelas tidak
bertentangan dengan norma agama dan budaya masyarakat lokal. Dengan perkataan
lain, produk minuman ini halal bagi semua lapisan masyarakat dan dapat
dikonsumsi semua golongan umur.
Usaha
produksi Nata de Coco yang menerapkan teknologi sederhana akan
memberikan dampak positif bagi masyarakat yakni :
1. Air kelapa menjadi bahan
yang bernilai ekonomis
2. Terciptanya lapangan kerja baru di pedesaan
3. Menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga
5. Desain Mata Pencaharian Alternatif
5.1. Proses
Produksi
5.1.1. Nata de Coco
Prosedur
pembuatan produk minuman Nata de Coco adalah sebagai berikut :
|
Hal-hal yang diperhatikan
pada pembuatan Nata de coco
Pada prinsipnya pembuatan
nata de coco dengan bantuan aktivitas Acetobacter
xylinum yang terdapat pada air kelapa menjadi selulosa. Selulosa yang
terbentuk berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida lain
membentuk suatu jalinan seperti tekstil. Jalinan seperti tekstil inilah nata de
coco. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum merupakan syarat
utama dalam pengolahan nata de coco. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan Acetobacter xylinum :
1. Media harus mempunyai tingkat
keasaman optimum (pH) sekitar 4. Oleh karena itu penambahan asam asetat glacial
mutlak diperlukan, karena pH air kelapa berkisar pH 6.
2. Nutrisi media. Media untuk
pertumbuhan bakteri Aceto bacter
harus mengandung gula sebagai sumber energi, Z.A (area) sebagai sumber
nitrogen. Itulah sebabnya mengapa perlu penambahan gula 2% dan Z.A (urea 2%).
3. Pendidihan. Media harus steril
(tidak ada mikroba atau bakteri), bila ada mikroba atau bakteri maka bakteri Aceto bacter tidak tumbuh karena terjadi
persaingan antara mikroba yang terdapat pada media dengan Acetobacter. Oleh karena itu air kelapa harus dididihkan untuk membunuh
mikroba yang terdapat di dalam air kelapa.
4. Jumlah starter. Jumlah starter
harus tepat (tidak boleh lebih apalagi kurang). Karena jumlah yang tidak tepat
akan mempengaruhi masa pertumbuhan awal. Pertumbuhan awal yang terlalu cepat
(bila mana starter berlebihan) membuat massa
tidak kompak. Sedangkan bila pertumbuhan awal terlalu lambat (bila starter
kurang) maka masa pemeraman menjadi lebih panjang.
5. Suhu pemeraman. Suhu untuk
pertumbuhan Acetobacter berada pada
kisaran 27-30°C. Di luar suhu ini pertumbuhan Acetobacter menjadi lembat, atau bahkan bisa tidak aktif (mati).
B.
Minyak Perawan (VCO)
Proses pembuatan minyak perawan (VCO)
adalah sebagai berikut :
Gambar
2. Bagan Alir Proses Produksi Minyak Perawan
(VCO)
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisis kelayakan teknis dan ekonomi maka mata pencaharian alternative
berbasis kelapa yang layak dikembangkan di 6 desa sasaran adalah pengolahan
natadecoco dan pembuatan minyak kelapa murni. Karena sumber daya manusia di 6
desa sasaran masih rendah maka diperlukan pelatihan teknis dan pendampingan
dari ahli pemasaran untuk menjual produk-produk yang dihasilkan.
6.2. Saran
Untuk
mengoptimalkan hasil usaha MPA maka disarankan masyarakat membentuk kelompok
bersama sehingga pemanfaatan dana dan peralatan dapat lebih efesien dan
efektif.
DAFTAR LITERATUR
Bengen,
D.G. 2002. Analisis Ekosistem Pesisir.
PKSPL. Bogor
Carter,
J.A. 1996. Introductory Courseon
Integrated Coastal Zone Management. Eviromental Studies Centres and
Development in Indonesia Project. Dahousee University.
BPS Kabupaten
Nias. 2004. Kecamatan Pulau – pulau Batu Dalam Angka.
Mannik. H.
2000. Ecology of Coastal Waters,
Blackwell Scientific, Inc. Massachu Ssetts.
Rindengan,
B dan Novarianto, H. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni.
Penebar Swadaya.
Sutarminingsih,
C.L. 2004. Peluang Usaha Nata de Coco. Penerbit Kanisius.
No comments:
Post a Comment