Wednesday 7 November 2012

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF (MPA) BERBASIS KELAPA DI KABUPATEN NIAS SELATAN


KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF (MPA)
BERBASIS KELAPA DI KABUPATEN NIAS SELATAN

ABSTRACT
Coral reef and aquatic organisms in it ecosystem is important resource for coastal communities. At present, the coral reef has been over exploited, and degradation up to 41.7%. The degradation is supposed related to poverty of local communities. Therefore, it is very important to study the alternative livelohood which consider the ecological and economical aspects. Based on the study at south Nias District in six villages, Nata decoco and Virgin Coconut Oil (VCO) are suitable as alternative livelihood because R/C ratio is 2.32 and 1.40 respectively.
----------------
Key word : Coral reef, alternative livelihood, nata decoco, VCO, South Nias.
           
1.  PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
            Kabupaten Nias Selatan memiliki luas wilayah 1.825,2 km2, terdiri atas : Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Lolomatua, Kecamatan Gomo, Kecamatan Lahusa, Kecamatan Hibala, Kecamatan Pulau–pulau Batu, Kecamatan Amandraya dan Kecamatan Lolowa’u. Topografi wilayah ini terdiri dari perbukitan hingga pegunungan, pesisir pantai dan kepulauan. Jumlah pulau yang terdapat di kabupaten ini yaitu 104 pulau dimana 101 pulau terdapat di gugusan Pulau – pulau Batu, Tanah Masa dan Hibala.
            Berdasarkan data tahun 2005, Kabupaten Nias Selatan memiliki jumlah penduduk sebanyak 275.422 jiwa yang tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan. Mata pencaharian penduduk di wilayah ini umumnya masih mengandalkan sumber daya alam yang ada dengan pengelolaan eksploitatif.
            Terumbu karang dan kehidupan biota yang berasosiasi didalamnya merupakan sumber daya pesisir yang mempunyai fungsi ekologi bagi ekosistem pesisir dan laut dan fungsi ekonomi bagi masyarakat pesisir. Terumbu karang yang ada di Indonesia dengan luas sekitar 60.000 km2 merupakan tempat bagi 1/8 dari terumbu karang dunia (Carter, 1996) dan sangat kaya akan keanekaragaman biota yang bernilai ekonomis penting. Menurut kajian Mann (2000), perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang yang sehat pada kedalaman kurang dari 30 meter, memiliki kandungan ikan sebanyak 15 ton/km2.
            Dewasa ini, eksploitasi terumbu karang secara tidak bijaksana telah menyebabkan kerusakan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Terumbu karang yang rusak di Indonesia telah mencapai 41.78 % sedangkan kondisi baik hanya sebesar 23.72 % dan sangat baik tinggal 6.20 % (Bengen, 2002). Dari kondisi tersebut, terumbu karang di kawasan perairan Indonesia barat memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan timur Indonesia. Kondisi terumbu karang di perairan pesisir Kabupaten Nias Selatan telah mengalami kerusakan yang dominan disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti penggunaan alat tangkap ikan yang membahayakan kehidupan karang, bahan peledak, racun dan penambangan karang. Cara–cara yang tidak bijaksana ini ditempuh karena tekanan ekonomi,  untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang banyak berada dalam garis kemiskinan. Dengan perkataan lain, kerusakan ini terjadi karena tingginya ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumber daya terumbu karang akibat minimnya mata pencaharian alternatif.
            Untuk mengurangi ketergantungan  masyarakat terhadap sumber daya terumbu karang dan biota yang berasosiasi di dalamnya, perlu dilakukan pengkajian Mata Pencaharian Alternatif (MPA) sehingga sumber daya terumbu karang dapat terjaga kelestariannya dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Karena potensi dan karakteristik desa berbeda–beda, maka mata pencaharian penduduk yang berpotensi dikembangkan juga berbeda–beda. Oleh sebab itu pengembangan MPA harus diidentifikasi, dikaji dari aspek teoritis, ekonomi, kelestarian lingkungan (ekologis) dan sosial budaya masyarakat sehingga layak dikembangkan di lokasi/desa setempat.

1.2.    Tujuan
Studi pengembangan MPA ini bertujuan mengkaji dan mendesain Mata Pencaharian Alternatif (MPA) bidang pertanian yang layak dikembangkan berdasarkan potensi sumber daya alam lokal di 6 (enam) desa Kabupaten Nias Selatan.

1.3.  Manfaat
            Hasil studi kelayakan MPA ini akan bermanfaat sebagai berikut :
a.       Sebagai bahan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan program pembangunan ekonomi wilayah pesisir khususnya dalam pengentasan kemiskinan.
b.      Membantu masyarakat setempat dalam pengembangan mata pencaharian alternatif berbasis sumber daya lokal sehingga aktivitas masyarakat yang menyebabkan kerusakan terumbu karang dapat dialihkan untuk memaksimalkan upaya pelestarian terumbu karang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

2.  METODE PENGKAJIAN MPA

2.1.  Pendekatan Studi
            Dalam studi kelayakan dan desain mata pencaharian alternatif di enam lokasi Kabupaten Nias Setalan, pendekatan studi yang dilakukan adalah pendekatan partisipatif (participatory approach), dimana aspirasi masyarakat menjadi unsur penting dalam penetapan jenis mata pencaharian yang layak dikembangkan dan dipadukan dengan potensi biofisik wilayah, kondisi ekologis, kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat lokal.
            Pendekatan studi ini selaras dengan salah satu bidang kegiatan COREMAP yakni Pengelolaan Berbasis Masyarakat (community based management). Dalam pengelolaan berbasis masyarakat ini, semua proses pengelolaan terumbu karang akan dilaksanakan oleh masyarakat melalui kegiatan kelompok dan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan didukung oleh motivator desa serta dibantu oleh fasilitator lapangan dan pihak terkait. Pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat ini akan tidak efektif dan berhasil guna jika masyarakat yang berada di kawasan terumbu karang tidak memiliki mata pencaharian selain usaha–usaha eksploitasi sumber daya di kawasan terumbu karang. Dengan demikian dibutuhkan kajian mata pencaharian alternatif berbasis sumber daya alam lokal yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

2.2.  Metode Pengumpulan Data
            Metode pengumpulan data dalam Studi Kelayakan dan Desain Mata Pencaharian Alternatif (MPA) di enam lokasi COREMAP II Kabupaten Nias Selatan ini melalui pengumpulan data sekunder dan primer. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survey, yang mencakup wawancara dengan masyarakat lokal, pengisian kuesioner, observasi lapangan, diskusi kelompok terfokus dan konsultasi publik tingkat kecamatan.
            Pengisian kuesioner secara terbuka digunakan untuk memperoleh informasi tentang :
a.        Potensi pertanian terutama potensi tanaman kelapa.
b.       Pemanfaatan sumber daya terumbu karang
c.        Aspek sosial (kependudukan dan pendidikan)
d.       Aspek ekonomi (mata pencaharian dan tingkat pendapatan masyarakat)
e.        Aspek budaya (adat istiadat dan kearifan lokal)
Sedangkan observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi ekologis terumbu karang, kondisi alam desa, pengelolaan mata pencaharian utama dan sampingan. Data sekunder tentang kondisi geografis, topografis dan iklim diperoleh dari instansi terkait dan diperkaya dengan berbagai literatur.
Diskusi kelompok terfokus yang melibatkan unsur pemerintah desa, tokoh masyarakat, kelompok produksi, kelompok pengawas, kelompok wanita dan unsur LPSTK dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang masalah– masalah yang dihadapi dalam upaya pelestarian terumbu karang. Sedangkan konsultasi publik tingkat kecamatan yang dihadiri unsur Muspika, aparat desa, Pokmas, LPSTK, masyarakat desa dan pemangku kepentingan lainnya ditujukan untuk memperoleh masukan dalam penyusunan MPA, sehingga layak dikembangkan di daerah tersebut.

2.3.  Analisa Data
            Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan kriteria kelayakan teknis dan ekonomis yang telah ditentukan. Data potensi biofisik desa, kondisi ekologis, sosial ekonomi dan budaya masyarakat dijabarkan, kemudian dihubungkan dengan mata pencaharian yang layak dikembangkan berdasarkan potensi ketersediaan bahan baku dan pemasaran.
            Analisa usaha dibuat berdasarkan kebutuhan dalam pengelolaan suatu usaha. Analisa mencakup investasi bahan dan peralatan, benih atau bibit, tenaga kerja dan harga pemasaran. Dari nilai investasi dihitung keuntungan dan analisa benefit usaha dan imbangan penerimaan biaya atau rasio hasil penjualan dan total biaya operasional (R/C Ratio).

3. PROFIL DESA DAN PENGEMBANGAN MPA

3.1.  Kondisi Umum Kabupaten Nias Selatan
            Jumlah penduduk Kabupaten Nias Selatan pada Januari 2005 yaitu 275.422 jiwa tersebar di 212 desa. Bahasa sehari – hari yang digunakan adalah bahasa Nias dengan dialek Nias Selatan, yang berbeda dengan dialek masyarakat di Kabupaten Nias induk. Sekitar 65 % angkatan kerja di wilayah ini berpendidikan sekolah dasar yang mayoritas menggeluti pertanian.
            Komoditas unggulan sektor pertanian terutama dari perkebunan yakni kelapa, karet dan nilam. Seluruhnya merupakan perkebunan rakyat. Sentra perkebunan kelapa di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa dan Amandraya serta tanaman karet dan nilam di Kecamatan Lahusa, Lolomatua dan Lolowa’u. Hasil pertanian lain yang menjadi unggulan adalah padi yang berpusat di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa dan Amandraya. Komoditas unggulan daerah ini umumnya dijual dalam bentuk segar, belum melalui proses pengolahan. Komoditas pertanian masih dikelola secara tradisional. Pada saat panen, hasil perkebunan dan perkebunan umumnya dikirim melalui kapal ke Sibolga atau Padang di propinsi Sumatera Barat.
            Studi pengembangan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) di Kabupaten Nias yang meliputi 6 (enam) desa yaitu : Desa Tuwaso dan Desa Duru di Kecamatan Hibala, Desa Sifutu Ewali, Desa Luaha Idanopono, Desa Hayo di Kecamatan Pulau–pulau Batu dan Desa Botohilitano di Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias. Karena setiap desa mempunyai karakteristik dan potensi biofisik yang berbeda, maka perlu diberikan gambaran umum deskripsi dan profil desa, yang dijadikan sebagai landasan dalam kajian pengembangan MPA. Pengembangan MPA di desa–desa ini diharapkan menjadi contoh dan faktor pendorong berkembangnya mata pencaharian alternatif di desa–desa lainnya di Kabupaten Nias Selatan dalam upaya mencapai tujuan pelestarian terumbu karang.

3.2.  Desa Duru
            Desa Duru dengan luas 3,18 km2 ini terdiri dari 2 dusun yakni Duru I dan Duru II yang dipisahkan oleh perairan teluk dengan kondisi terumbu karang yang sedang mengalami pemulihan. Lokasi pemukiman di desa ini hanya berjarak 10– 25 m dari garis pantai dengan ketinggian 1–5 m di atas permukaan laut dan berjarak 3 km dari ibukota kecamatan, dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 sebanyak 504 jiwa (101 KK) yang terdiri dari laki–laki 223 orang dan perempuan 281 orang.
            Mata pencaharian utama penduduk Desa Duru adalah petani. Mayoritas masyarakat di daerah ini mengusahakan kebun kelapa. Luas kebun kelapa mencapai 24 hektar dan dapat menghasilkan 30 ton kopra per 3 bulan. Dengan potensi kelapa yang cukup besar, di desa ini layak dikembangkan produk minya perawan (Virgin Coconut Oil–VCO), produk minuman Nata de Coco dan sabut kelapa yang dapat dipasarkan untuk kebutuhan lokal, ke Tello, Teluk Dalam, Sibolga dan bahkan ke Medan. Sekarang ini produk VCO sangat diperlukan oleh industri farmasi dan kosmetika, sehingga harga VCO ini cukup tinggi di pasaran yakni Rp. 40.000 per kg. Untuk mempertahankan produksi kelapa tersebut, pohon kelapa yang sudah tua atau kurang produktif perlu dilakukan peremajaan dengan menanam kelapa hibrida. Dilihat dari keragaman vegetasi, lahan di desa ini termasuk lahan yang subur. Oleh sebab itu, lahan kebun kelapa tersebut pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput unggul sebagai sumber hijauan pakan ternak kambing. Sebagian besar masyarakat nelayan (77,23 %) mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.000–Rp. 500.000 per bulan, yang masih jauh berada di bawah UMR Propinsi Sumatera Utara.
            Dari aspek kualitas sumber daya manusia (SDM), masyarakat di desa ini masih tergolong rendah. Dari survey lapangan (Agustus, 2006), tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah, karena 62 % hanya tamatan SD dan bahkan masih terdapat penduduk yang tidak tamat SD serta tidak sekolah pada usia 7–12 tahun. Rendahnya  kualitas SDM ini termasuk faktor penghambat dalam pengembangan teknologi pengolahan hasil pertanian sehingga sangat diperlukan upaya peningkatan kualitas SDM ini melalui pelatihan–pelatihan teknis yang bersifat praktis, adaptif dan berdaya guna.

3.3.  Desa Tuwoso
            Berdasarkan survey bulan Agustus 2006, penduduk desa ini berjumlah 623 jiwa (131 KK) yang terdiri dari laki–laki 306 orang dan perempuan 317 orang. Berdasarkan distribusi agama yang dianut 98 % penduduk desa ini menganut agama Kristen Protestan dan 2 % Katolik. Sebagian besar (80,15 %) penduduk desa bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan sampingan adalah berkebun kelapa, beternak ayam dan babi.
            Berkebun kelapa telah lama digeluti oleh penduduk setempat, tetapi hanya pekerjaan sampingan. Kegiatan ini terutama dilakukan ketika nelayan tidak melaut akibat  musim badai. Di desa ini terdapat kebun kelapa seluas 20 hektar dan mampu menghasilkan kopra sekitar 2,5 ton per 3 bulan. Pohon kelapa ini sebagian besar sudah berumur tua dan pada dasarnya sudah kurang produktif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan peremajaan dengan menaman jenis kelapa hibrida yang lebih produktif. Potensi kelapa yang cukup besar ini dapat mendukung usaha produksi minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil), produk minuman Nata de Coco dan pembuatan sabut kelapa.
            Akibatnya terbatasnya mata pencaharian alternatif, sebagian besar (80 %) masyarakat nelayan di desa ini mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.000 –Rp. 500.000/bulan. Pendapatan ini jelas tidak mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan keluarga sehari–hari, biaya pendidikan, kesehatan dan kegiatan sosial lainnya. Oleh sebab itu, masyarakat nelayan di daerah ini kesulitan modal untuk pengembangan usaha dan bahkan sering terlilit hutang untuk memenuhi kebutuhan hidup.

3.4.  Desa Sifitu Ewali
            Jumlah penduduk menurut BPS Kabupaten Nias (2004) sebanyak 801 jiwa (152 KK) yang terdiri dari laki–laki 410 orang dan perempuan 391 orang. Sebagian besar penduduk desa ini 90,76 % menganut agama Kristen Protestan dan 9,24 % Katolik. Mata pencaharian utama penduduk desa ini adalah sebagai nelayan (80,15 %), sedangkan pekerjaan sampingan adalah berkebun kelapa, beternak ayam dan babi.
            Di samping bekerja sebagai nelayan, masyarakat di daerah ini juga mengusahakan kebun kelapa. Usaha sampingan dilakukan terutama jika mereka tidak melaut, atau setelah mereka kembali dari kegiatan menangkap ikan. Luas kebun kelapa di desa ini mencapai 12 hektar dan dapat menghasilkan 20 ton kopra per 3 bulan. Kondisi kelapa didaerah ini sebagian besar sudah berumur tua sehingga kurang produktif. Oleh sebab itu, pohon kelapa ini perlu diremajakan sehingga produksi kelapa bisa lebih tinggi. Potensi kelapa yang cukup besar di desa ini memberikan peluang pengembangan usaha produksi sabut kelapa, minyak perawan (Virgin Coconut Oil) dan produk minuman Nata de Coco.

3.5.  Desa Hayo
            Jumlah penduduk Desa Hayo menurut BPS Kabupaten Nias (2004) sebanyak 284 jiwa (56 KK) yang terdiri dari laki–laki 145 orang dan perempuan 139 orang. Mata pencaharian utama penduduk desa ini adalah sebagai nelayan (91,07 %), sedangkan pekerjaan sampingan adalah berkebun kelapa, beternak ayam dan babi. Pekerjaan sampingan beternak ayam dan babi umumnya dilakukan kaum ibu dan sudah berlangsung cukup lama di daerah ini. Hal ini didukung oleh ketersediaan sumber pakan alami, faktor sosial budaya (adat istiadat) dan religi (agama) dimana penduduk desa ini 100 % Kristen. Karena kegiatan beternak ini masih berupa usaha sambilan, populasi ternak babi dan ayam masih relatif kecil dimana ternak babi hanya mencapai 68 ekor dan ternak ayam 105 ekor.
            Pekerjaan sampingan berkebun kelapa umumnya dilakukan nelayan ketika tidak melaut. Kesempatan itu dimanfaatkan nelayan membersihkan kebun, memanen kelapa dan membuat kopra. Luas kebun kelapa mencapai 11 hektar dan dapat menghasilkan 20 ton kopra per 3 bulan. Pohon kelapa di desa ini sebagian besar sudah berumur tua, sehingga kurang produktif. Oleh sebab itu perlu dilakukan peremajaan kelapa dengan jenis kelapa hibrida yang mempunyai produksi tinggi. Potensi kelapa yang cukup besar di desa ini membuka peluang pengembangan mata pencaharian alternatif yaitu usaha produksi minyak perawan (Virgin Coconut Oil), produk minuman Nata de Coco dan sabut kelapa. Disamping itu, kebun kelapa yang luas di desa ini pada dasarnya mempunyai potensi untuk pengembangan budidaya rumput unggul sebagai sumber pakan ternak. Penanaman rumput unggul yang tahan naungan dapat dilakukan di bawah pohon kelapa sehingga memberikan peluang pengembangan usaha ternak ruminansia kecil.

3.6.  Desa Luaha Idano Pono
            Jumlah penduduk pada tahun  2006 sebanyak 253 jiwa (48 KK) yang terdiri dari laki – laki 132 orang dan perempuan 111 orang. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan sampingan adalah berkebun kelapa, beternak ayam dan babi serta budidaya teripang. Pekerjaan sampingan beternak babi sudah berlangsung cukup lama, hal ini didukung oleh faktor ketersediaan sumber pakan alami seperti ubi, ampas kelapa dan sagu, faktor sosial budaya (adat istiadat) dan religi (agama) dimana penduduk desa ini 100 % Kristen.
            Selain  sebagai nelayan, masyarakat di daerah ini juga mengusahakan kebun kelapa. Kegiatan berkebun umumnya dilakukan ketika nelayan tidak melaut atau setelah pulang dari melaut. Luas kebun kelapa mencapai 12 hektar dan dapat menghasilkan kopra rata – rata 7 ton per bulan atau sekitar 20 ton kopra per 3 bulan. Pohon kelapa di desa ini sudah banyak yang tua dan tidak produktif lagi. Diperlukan usaha peremajaan untuk meningkatkan hasil produksi kelapa, seperti penanaman kelapa hibrida. Potensi kelapa yang cukup besar di desa ini, membuka peluang pengembangan mata pencaharian alternatif selain produksi kopra dan minyak kelapa, antara lain produksi sabut kelapa, minyak perawan (Virgin Coconut Oil), produk minuman Nata de Coco. Disamping itu, lahan kebun kelapa yang cukup luas tersebut mempunyai potensi untuk produksi hijauan pakan ternak. Artinya desa ini juga berpotensi untuk pengembangan usaha ternak kambing.
            Mata pencaharian yang dikelola secara tradisional menyebabkan tingkat pendapatan masyarakat desa ini relatif rendah. Sebagian besar (72,92 %) masyarakat nelayan di desa ini mempunyai pendapatan berkisar antara Rp. 300.000 –Rp. 500.000 per bulan. Dengan tingkat pendapatan yang rendah, masyarakat nelayan di daerah ini relatif kurang menyediakan biaya pendidikan dan biaya hidup lainnya.  

3.7.  Desa Botohilitano
            Berdasarkan survey bulan Agustus (2006), penduduk desa ini mencapai 3.226 jiwa terdiri dari 672 KK yang sebagian besar bermukin di Desa Botohilitano. Penduduk desa ini sebagian besar bekerja sebagai nelayan, sedangkan pekerjaan sampingan adalah berkebun kelapa, usaha tani palawija, beternak ayam dan babi. Sedangkan di Sorake, mata pencaharian penduduk dominan bergerak di sektor pariwisata, sedangkan mata pencaharian sampingan adalah berkebun kelapa dan beternak ayam.
            Pada musim badai, nelayan tidak melaut dan waktu tersebut dimanfaatkan untuk membersihkan kebun kelapa, memanen dan membuat kopra. Pohon kelapa di desa ini sudah banyak yang tua, sehingga kurang produktif. Dalam kondisi demikian, dengan luas kebun kelapa sekitar 9 hektar masih dapat menghasilkan kopra sekitar 5 ton per bulan atau sekitar 15 ton kopra per 3 bulan. Potensi kelapa yang cukup besar di desa ini membuka peluang pengembangan mata pencaharian alternatif yaitu usaha, minuman Nata de Coco dan produksi minyak dara (VOC). Disisi lain lain, lahan kebun kelapa yang relatif luas pada dasarnya dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput unggul. Dengan perkataan lain, desa ini mempunyai potensi untuk pengembangan ternak ruminansia kecil seperti kambing dan domba.

4.  ANALISA KELAYAKAN MPA

4.1.    Produksi (VCO)
4.1.1.  Prospek Pemasaran
            Dewasa ini permintaan bahan baku minyak perawan (VCO) untuk kebutuhan industri farmasi dan kosmetik semakin meningkat, baik untuk kebutuhan industri dalam negeri maupun luar negeri. Negara–negara Eropa banyak mengimport VCO dari Indonesia dengan volume yang semakin meningkat setiap tahunnya. Oleh sebab itu, produksi VCO di berbagai daerah di tanah air termasuk di wilayah COREMAP II Kabupaten Nias Selatan mempunyai prospek pemasaran yang cerah. Meningkatnya permintaan bahan baku VCO ini menyebabkan harganya cukup tinggi di pasaran. Minyak perawan dalam bentuk curah mempunyai harga Rp. 40.000  per kg jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak kelapa yang harganya hanya mencapai Rp. 6.000 per kg.

4.1.2.  Analisa Kelayakan Teknis
            Sebagaimana telah diuraikan dalam deskripsi dan profil desa lokasi COREMAP II, Kabupaten Nias Selatan, bahwa seluruh desa tersebut mempunyai tanaman kelapa yang luas dengan produksi kopra yang cukup tinggi. Usaha produksi kopra inilah satu–satunya hasil pertanian yang dapat menambah hasil pendapatan keluarga (pendapatan utama berasal dari pekerjaan sebagai nelayan). Oleh sebab itu, untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa dan posisi tawar masyarakat terhadap hasil olahan kelapa tersebut, maka salah satu alternatif usaha pengolahan kelapa yang layak dikembangkan adalah usaha produksi minyak perawan (VCO) yang sekarang ini sangat dibutuhkan berbagai jenis industri.
            Minyak perawan banyak dibutuhkan industri farmasi dan kosmetika, sehingga usaha ini sangat cerah di masa mendatang. Berdasarkan hasil analisis laboratorium sampel VCO yang bersumber dari kelapa yang ada di Kecamatan Pulau – pulau Batu, Hibala dan Teluk Dalam mempunyai kandungan asam laurat yang tinggi  (48,47 %) dan kadar air hanya 0,034 % sehingga dari segi kualitas kelapa layak digunakan sebagai bahan baku produksi VCO.
            Dari segi teknis produksi, peralatan yang digunakan untuk memproduksi VCO dari bahan dasar santan kelapa menggunakan teknologi yang sederhana, yaitu seperangkat peralatan centrifuge yang digerakkan motor listrik dengan kecepatan anguler 2500 rpm berkekuatan 1800 watt. Peralatan ini dapat dibuat masyarakat lokal, atau didatangkan dari produsen yang berlokasi di Medan. Untuk pembuatan dan pengoperasian alat ini memerlukan pelatihan teknis.

4.1.3.  Analisa Kelayakan Ekonomis
A.  Faktor Produksi
            Dalam proses produksi VCO, faktor–faktor produksi yang digunakan adalah:
a.        Bangunan tempat usaha
b.       Mesin parutan
c.        Mesin press
d.       Santan kelapa
e.        Mesin vacuum
f.        Mesin centrifuge
g.        Mesin penyaring
h.       Mesin genset berkapasitas 1800 watt
i.         Wadah penampung minyak (gerigen)
j.         Tenaga kerja
Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan ekonomis usaha produksi VCO adalah :
a.       Produksi VCO sekitar 10 % dari jumlah kelapa yang diparut (20.000 butir per bulan)
b.      Harga VCO lokal Rp. 25.000,- per liter
c.       Produksi VCO untuk masa 2 tahun

B.  Rencana Anggaran Biaya (RAB)
1.   Biaya Tetap (Investasi)
      a.   Mesin parutan 1 unit                                                    Rp.    5.500.000,-
      b.   Mesin press 1 unit                                                        Rp.  18.500.000,-
      c.   Mesin vacuum panjang 1 unit                                      Rp.  15.500.000,-
      d.   Mesin centrifuge 1 unit                                                            Rp.    9.500.000,-
      e.   Mesin penyaring 1 unit                                                            Rp.  15.500.000,-
      f.    Jerigen 15 buah @ Rp. 30.000,-                                              Rp.       450.000,-
      g.   Sewa tempat usaha (3 tahun)                                       Rp.    6.000.000,-
                                                Jumlah Biaya Tetap               Rp.  70.950.000,-

2.   Biaya Variabel (Input Produksi)
      a.   Kelapa 200 butir/jam x 4 jam/hari x 25 hari x
             Rp. 300/butir                                                              Rp.    6.000.000,-
      b.   Transport pengangkutan buah kelapa                          Rp.    1.000.000,-
      c.   Bahan bakar : 5 mesin x 1,3 liter/jam x 5 jam/hari x 25
            hari x Rp. 6.000/liter bensin                                        Rp.    4.875.000,-
      d.   Perawatan mesin : 5 mesin x Rp. 200.000/bulan                     Rp.    1.000.000,-
      e.   Jerigen 30 buah (kapasitas 30 liter) @ Rp. 50.000,-    Rp.    1.500.000,-
      f.    Upah tenaga kerja 5 orang @ Rp. 700.000/bulan                    Rp.    3.500.000,-
      g.   Penyusutan peralatan/bulan (masa 2 tahun)                 Rp.    2.956.000,-
                                                Jumlah Biaya Produksi          Rp.  20.831.250,-
C.  Analisa Hasil Usaha
1.   Penerimaan (Revenue)
a.       Produksi VCO : 10 % x 20.000 butir/bulan = 2.000 liter
b.      Penjualan minyak perawan (VCO) : 2.000 liter x
      Rp. 25.000/liter                                                            Rp.  50.000.000,-
2.      Keuntungan (Profit)
       Laba : Rp. 50.000.000–Rp. 20.831.250                           Rp.  29.168.750,-
3.      Ratio Finansial
B/C Ratio  :  Rp. 29.168.750/Rp. 20.831.250 = 1,40. Berarti usaha produksi VCO layak dikembangkan.

4.1.4.  Analisa Kelayakan Sosial
            Pengembangkan usaha produksi minyak perawan (VCO) di desa–desa lokasi COREMAP II, Kecamatan Hibala, Pulau–pulau Batu dan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan tidak bertentangan dengan norma agama dan adat istiadat masyarakat. Justru pengembangan usaha ini akan membuka wawasan masyarakat tentang perkembangan teknologi dalam meningkatkan nilai tambah  sumber daya alam lokal. Disamping itu, kegiatan mata pencaharian alternatif ini akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat desa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

4.2.  Produksi Minuman Nata de Coco
4.2.1.  Prospek Pemasaran
            Minuman Nata de Coco yang dibuat dari air kelapa melalui proses fermentasi sangat digemari masyarakat sebagai minuman segar dan sumber serat alamiah. Produk minuman ini dijual dalam berbagai bentuk kemasan sehingga harganya dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Bahkan sekarnag ini minuman Nata de Coco telah memasuki daerah pedesaan sehingga masyarakat luas sudah mengenalnya.
            Demikian halnya di wilayah COREMAP II Kabupaten Nias Selatan, produk minuman ini sudah banyak dijual di Tello dan Teluk Dalam. Berdasarkan fakta ini, produk Nata de Coco mempunyai potensi pasar lokal dan regional sehingga mudah dipasarkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas produk dengan harga yang bersaing terhadap produk yang berasal dari luar daerah.

4.2.2.  Analisa Kelayakan Teknis
            Sebagaimana telah dijelaskan dalam deskripsi dan profil desa lokasi COREMAP II, Kabupaten Nias Selatan bahwa keenam desa tersebut merupakan daerah penghasil kelapa dan kopra. Berarti setiap kelapa yang digunakan untuk memproduksi kopra akan menghasilkan air kelapa, yang selama ini belum dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Dengan potensi air kelapa yang banyak, membuka peluang besar untuk pemanfaatannya menjadi produk minuman Nata de Coco.
            Dewasa ini produk Nata de Coco telah diproduksi dari berbagai daerah, dalam kemasan yang beraneka ragam dan disukai banyak orang sebagai salah satu sumber serat. Oleh sebab itu produk minuman ini bukan lagi hal yang baru sehingga teknis pembuatannya sudah banyak diketahui masyarakat.
            Pada dasarnya pembuatan produk Nata de Coco adalah melalui sistem fermentasi dengan menggunakan stater mikroba Acetobacter sp, yang dapat diperoleh dari berbagai perusahaan dan laboratorium mikrobiologi di perguruan tinggi dan lembaga riset. Selain itu, metoda pembuatannya relatif mudah dan menggunakan teknologi sederhana, sehingga melalui pelatihan teknis masyarakat desa dapat melakukannya.

4.2.3.  Analisa Kelayakan Ekonomis
A.  Faktor Produksi
            Faktor produksi yang digunakan dalam pembuatan produk Nata de Coco adalah :
a.       Air kelapa
b.      Gula pasir
c.       Asam asetat 2 % dan ZA 3 %
d.      Bakteri Acetobacter sp
e.       Perlengkapan produksi (nampan, dandang, kompor, ember, jerigen, timbangan, boto staterm saringan halus, gelas ukur, pisau pemotong dan talenan)
f.       Bangunan tempat usaha
g.       Tenaga kerja
Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan ekonomis produksi Nata de Coco adalah :
a.        Air kelapa diperoleh tanpa membeli (free cost)
b.       Harga jual produk Rp. 2.500 per bungkus (250 ml)
c.        Umur ekonomis peralatan 1 tahun (12 bulan)

B.  Rencana Anggaran Biaya (RAB)
1.   Biaya Tetap
      a.   Sewa tempat usaha 1 tahun                                          Rp.    6.000.000,-
      b.   Nampan plastik 1.200 buah @ Rp. 5.000,-                  Rp.    6.000.000,-
      c.   Dandang 3 buah @ Rp. 170.000,-                               Rp.       510.000,-
      d.   Kompor masak 1 buah                                                            Rp.       400.000,-
      e.   Ember pencuci 5 buah @ Rp. 50.000,-                                    Rp.       250.000,-
      f.    Jerigen 10 buah @ Rp. 30.000,-                                              Rp.       300.000,-
      g.   Pisau pemotong 5 buah @ Rp. 10.000,-                                  Rp.         50.000,-
      h.   Timbangan 1 buah                                                       Rp.       100.000,-
      i.    Botol untuk stater 50 buah @ Rp. 600,-                                  Rp.         30.000,-
      j.    Saringan halus 2 buah @ Rp. 20.000,-                                    Rp.         40.000,-
      k.   Gelas ukur 1 buah                                                       Rp.         10.000,-
      l.    Talenan 5 buah @ Rp. 5.000,-                                     Rp.         25.000,-

                                    Jumlah Biaya Tetap (Investasi)         Rp. 13.715.000,-


2.   Biaya Variabel (Input Produksi)
      a.   Penyusutan peralatan per bulan
             (Rp. 13.715.000/12 bln)                                             Rp.    1.142.900,-
      b.   Minyak tanah 20 liter x 25 hari x Rp. 2.300/liter                     Rp.  12.075.000,-
      c.   Gula pasir 142 kg x Rp. 5.000/kg                                Rp.       710.000,-
      d.   Asam cuka 3 % x 600 liter x Rp. 10.000/liter              Rp.       180.000,-
      e.   Plastik 0.5 kg x Rp. 30.000 x 25 hari                           Rp.       375.000,-
      f.    Tali/karet gelang                                                          Rp.         20.000,-
      g.   Kertas koran bekas                                                      Rp.         10.000,-
      h.   ZA 3/100 x 600 liter x Rp. 1.250/liter x 25 hari                       Rp.       562.500,-
      i.    Tenaga kerja 4 orang x Rp. 30.000,- x 25 hari             Rp.    3.000.000,-

                                                Jumlah Biaya Produksi          Rp.  18.075.400,-

C.  Analisa Hasil Usaha
1.   Penerimaan (Revenue)
      a.   Penjualan produk 2.000 bungkus/hari (250 gr) @ Rp. 1.200    Rp.    2.400.000,-
      b.   Penjualan untuk 1 bulan (25 hari operasi)                   Rp.  60.000.000,-
2.   Keuntungan (Profit)
      Laba  :  Rp. 60.000.000–Rp. 18.075.400                          Rp.  41.924.600,-
3.   Ratio Finansial
B/C Ratio  :  Rp. 41.924.600/Rp. 18.075.400 = 2,32. Berarti usaha produksi Nata de Coco sangat layak untuk dikembangkan.

4.2.4.  Analisa Kelayakan Sosial
            Karena produk minuman Nata de Coco berasal dari air kelapa, maka pengembangan usaha ini jelas tidak bertentangan dengan norma agama dan budaya masyarakat lokal. Dengan perkataan lain, produk minuman ini halal bagi semua lapisan masyarakat dan dapat dikonsumsi semua golongan umur.
            Usaha produksi Nata de Coco yang menerapkan teknologi sederhana akan memberikan dampak positif bagi masyarakat yakni :
1.  Air kelapa menjadi bahan yang bernilai ekonomis
2.  Terciptanya lapangan kerja baru di pedesaan
3.  Menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga

5.  Desain Mata Pencaharian Alternatif

5.1.  Proses Produksi
5.1.1.  Nata de Coco
            Prosedur pembuatan produk minuman Nata de Coco adalah sebagai berikut :













Text Box: Air Kelapa











                  Gambar 1.  Bagan Alir Proses Produksi Nata de Coco
 
 
























            Hal-hal yang diperhatikan pada pembuatan Nata de coco
Pada prinsipnya pembuatan nata de coco dengan bantuan aktivitas Acetobacter xylinum yang terdapat pada air kelapa menjadi selulosa. Selulosa yang terbentuk berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida lain membentuk suatu jalinan seperti tekstil. Jalinan seperti tekstil inilah nata de coco. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum merupakan syarat utama dalam pengolahan nata de coco. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum :
1. Media harus mempunyai tingkat keasaman optimum (pH) sekitar 4. Oleh karena itu penambahan asam asetat glacial mutlak diperlukan, karena pH air kelapa berkisar pH 6.
2. Nutrisi media. Media untuk pertumbuhan bakteri Aceto bacter harus mengandung gula sebagai sumber energi, Z.A (area) sebagai sumber nitrogen. Itulah sebabnya mengapa perlu penambahan gula 2% dan Z.A (urea 2%).
3. Pendidihan. Media harus steril (tidak ada mikroba atau bakteri), bila ada mikroba atau bakteri maka bakteri Aceto bacter tidak tumbuh karena terjadi persaingan antara mikroba yang terdapat pada media dengan Acetobacter. Oleh karena itu air kelapa harus dididihkan untuk membunuh mikroba yang terdapat di dalam air kelapa.
4. Jumlah starter. Jumlah starter harus tepat (tidak boleh lebih apalagi kurang). Karena jumlah yang tidak tepat akan mempengaruhi masa pertumbuhan awal. Pertumbuhan awal yang terlalu cepat (bila mana starter berlebihan) membuat massa tidak kompak. Sedangkan bila pertumbuhan awal terlalu lambat (bila starter kurang) maka masa pemeraman menjadi lebih panjang.
5. Suhu pemeraman. Suhu untuk pertumbuhan Acetobacter berada pada kisaran 27-30°C. Di luar suhu ini pertumbuhan Acetobacter menjadi lembat, atau bahkan bisa tidak aktif (mati).











B.  Minyak Perawan (VCO)
            Proses pembuatan minyak perawan (VCO) adalah sebagai berikut :


 



















Gambar 2.  Bagan Alir Proses Produksi Minyak Perawan (VCO)


6.  KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
            Berdasarkan hasil analisis kelayakan teknis dan ekonomi maka mata pencaharian alternative berbasis kelapa yang layak dikembangkan di 6 desa sasaran adalah pengolahan natadecoco dan pembuatan minyak kelapa murni. Karena sumber daya manusia di 6 desa sasaran masih rendah maka diperlukan pelatihan teknis dan pendampingan dari ahli pemasaran untuk menjual produk-produk yang dihasilkan.

6.2. Saran
            Untuk mengoptimalkan hasil usaha MPA maka disarankan masyarakat membentuk kelompok bersama sehingga pemanfaatan dana dan peralatan dapat lebih efesien dan efektif.

DAFTAR LITERATUR


Bengen, D.G. 2002. Analisis Ekosistem Pesisir. PKSPL. Bogor
Carter, J.A. 1996. Introductory Courseon Integrated Coastal Zone Management. Eviromental Studies Centres and Development in Indonesia Project. Dahousee University.
BPS Kabupaten Nias. 2004. Kecamatan Pulau – pulau Batu Dalam Angka.
Mannik. H. 2000. Ecology of Coastal Waters, Blackwell Scientific, Inc. Massachu Ssetts.
Rindengan, B dan Novarianto, H. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni. Penebar Swadaya.
Sutarminingsih, C.L. 2004. Peluang Usaha Nata de Coco. Penerbit Kanisius.





No comments:

Post a Comment